Minggu, 29 Juli 2012

Kandungan Surah Al-Baqarah ayat 21 sampai 22

21 Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.

Dalam dua puluh ayat sebelumnya, Allah menjelaskan keadaan dan ‎karakteristik tiga kelompok manusia yaitu orang-orang bertakwa, kafir dan ‎munafik. Setelah membandingkan pikiran, kepercayaan, perbuatan dan kata-‎kata tiga kelompok ini, ayat ke-21 ini menjelaskan jalan menuju ‎kebahagian dan keselamatan. Untuk bergabung dengan kelompok pertama ‎dan mencapai derajat takwa, hanya ada satu jalan yaitu membebaskan diri ‎dari yang lain dan hanya menambatkan batin kepada Allah yang telah ‎menciptakan kalian. Yakni mengabdilah hanya kepada Allah supaya kalian ‎terbebas dari perbudakan orang lain.‎
Sebagian besar umat manusia mengakui Allah sebagai pencipta dirinya dan ‎alam semesta. Tetapi, dalam program dan aturan hidupnya, mereka ‎mengambil cara orang-orang lain. Jadi, seakan-akan mereka ini diciptakan ‎begitu saja, lalu dilepaskan dan bebas berbuat apa saja yang mereka ‎kehendaki. ‎

Ayat ini mengatakan bahwa Pencipta kalian juga merupakan zat yang ‎merawat dan mengayomi, dan demi pertumbuhan dan perkembangannya, Allah telah menentukan program dan kewajiban-kewajiban kalian. ‎Allah telah menetapkan undang-undang. Ingatlah betapa meletakkan undang-‎undang dan peraturan hanyalah hak Allah yang telah menciptakan kalian. ‎Dengan demikian taatlah kepada-Nya. Hanya perintah-Nya-lah yang patut ‎kalian junjung tinggi dan keuntungannya akan kembali kepada kalian sendiri. ‎Jauhilah noda dan kejelekan serta dekatilah kebaikan dan kesucian.

Dari ayat tadi terdapat tujuh poin pelajaran yang dapat kita dipetik:


Semua para nabi bersifat umum dan tidak terbatas pada sekelompok orang ‎tertentu. Oleh karena itu, sekitar 20 kali lebih pernyataan dalam Al-Quran ditujukan kepada ‎semua orang yaitu dengan kata-kata “Ya Ayyuhan-Naas” yang artinya “Hai ‎Manusia”. Maksud dan kandungan pada ayat ini yaitu bahwa Allah menyeru kepada siapapun dia yang masih merasa sebagai manusia (makhluk Tuhan), masih diberikan kesempatan untuk kembali ke pangkal jalan kebenaran.
Salah satu sebab dan falsafah ibadah kepada Allah ialah untuk ‎menyatakan rasa bersyukur atas nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga ‎kepada kita dan kepada orang-orang tua kita. Karena itu Allah berfirman: ‎‎”Sembahlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian.”‎
Nikmat penciptaan adalah nikmat yang paling utama dan terbesar yang ‎telah diberikan Allah kepada kita. Nikmat ini menuntut ketaatan kita kepada ‎seluruh perintah Ilahi.‎
Ibadah adalah faktor ketakwaan dan kesucian. Jika ibadah tidak ‎menambah spirit ketakwaan dalam diri kita, maka itu bukan ibadah. ‎
Kita harus ingat dan waspada supaya jangan sampai membuat dan ‎membiarkan adat dan tradisi orang-orang tua kita bertentangan dengan ‎perintah Ilahi, sebab mereka juga merupakan makhluk-makhluk Allah. Jangan ‎sampai ketaatan kepada mereka itu menghalangi ketaatan kita kepada ‎perintah Allah.‎ ‎
Allah tidak memerlukan ibadah dan penyembahan kita. Shalat dan munajat ‎kita tidak akan menambah kudrat (kekuasaan) dan keagungan Allah. Sesuatu yang ada ‎pada Allah juga tidak akan berkurang jika kita meninggalkan ibadah. Kitalah ‎yang memerlukan Allah demi perkembangan dan kesempurnaan kita. Kita ‎harus pasrah mutlak kepada aturan dan ketentuan Allah. ‎
Kita jangan sombong dengan ibadah kita sebab ujub (berbangga diri) yaitu rasa takjub ‎kepada diri sendiri serta sifat riya’ (pamer) akan mencegah kita untuk sampai kepada ‎takwa. Betapapun banyaknya ibadah yang kita lakukan tetapi karena sifat itulah (riya’ dan ujub), maka kita tidak akan sampai kepada ‎derajat takwa.‎‎

Ayat ini termasuk dalam Tauhid Uluhiyah: Penyatuan tempat menyembah. Sebab Dia yang telah menjadikan kita dan nenek-moyang kita; tidak bersekutu dengan yang lain.
Ayat ke-22:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan[1] air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[2], padahal kamu mengetahui”.
Dalam ayat ini, Allah menyinggung berbagai nikmat Allah yang masing-‎masing adalah sumber daripada nikmat yang lain. Allah menjadikan bumi ini ‎sebagai hamparan bagi kehidupan manusia di bumi ini. Gunung dan ‎saharanya, air dan tanahnya, mineral yang tersimpan di dalam tanah dan di ‎bawah gunung-gunung, semuanya merupakan lingkungan yang cocok untuk ‎kelestarian dan kehidupan manusia.‎‎ Kerjasama antara‏ ‏langit dan bumi telah mendatangkan hujan dan ‎menambahkan tanaman serta memenuhi rezeki dan makanan manusia. ‎Semua ini berlangsung dan terjadi sesuai dengan peraturan Allah dan ‎kudrat‏-‏Nya yang tak terhingga. Dengan demikian, bagaimana mungkin orang-‎orang atau makhluk-makhluk lain yang memerlukan Allah, dapat dijadikan ‎sebagai sekutu‏-‏Nya dan bukannya perintah Allah, tetapi perintah merekalah ‎yang diikuti.

Ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt, semata juga dalam kerangka menghilangkan salah satu dari Hijab yang menghalangi hubungan hamba dengan Allah. Hijab pertama adalah Hijab Af’aal, kemudian Hijab Sifat dan Hijab Dzat, melalui tahap pertama, yaitu Tajallinya Af’aal Allah. Sebab, makhluk itu terhijabi untuk melihat ketiga-tiganya: Af’aal, Sifat dan Dzat, terhalangi oleh semesta kemakhlukan.

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana Allah memerintahkan beribadah pada hamba-Nya, dengan menggambarkan latar belakang, seputar penciptaan, fungsi bumi dan langit, kemakmuran akibat yang ditimbulkan bumi dan langit, dan rizki dibalik penciptaan itu. Namun, manusia terhalangi pandangannya sehingga merasa bahwa langit dan bumi seisinya itulah yang bisa diandalkan sebagai tempat berpijak, tempat bergantung dan sumber rezeki. Padahal semua itu dari Allah SWT. Artinya Allah yang mengerjakan semua itu, menciptakan semua itu dan me-manage semuanya. Allah-lah yang berhak disembah, sehingga manusia hanya menyembah kepada-Nya. Ibadah hanya sah bagi hamba, dan tertuju kepada Pencipta hamba. Karena itu sang hamba harus mengenal Penciptanya, dimana, Allah bertajalli melalui ciptaan-Nya. Tajallinya Allah bukan penyatuan Wujud-Nya dengan wujud makhluk-Nya yang disebut dengan pantheisme. Tetapi, Tajallinya Allah adalah penampakan yang disaksikan oleh jiwa terdalam dari para hamba-Nya, dan karena itu, seperti dalam hadits:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

“Siapa yang mengenal jiwanya maka ia mengenal Tuhannya.”

Allah menurunkan air dari langit. Maksudnya, Allah menurunkan Air Tauhid Af’aal Allah, lalu air itu menyebabkan tumbuhnya sikap pasrah total kepada-Nya dari bumi hatinya. Disamping air itu juga menumbuhkan amal-amal dan kepatuhan, juga akhlak hasanah, agar menimbulkan rizki hati yang menumbuhkan buah-buah keyakinan, kondisi-kondisi ruhani yang luhur, seperti sabar, syukur dan tawakkal. Inilah yang kemudian, dibutuhkannya Risalah (Kerasulan) untuk menjembatani hubungan antara hamba dengan Allah, sebagaimana dibutuhkan jasad untuk suatu kerangka bagi jiwa kita. Risalah itu berfungsi untuk pertemuan Kalimat-kalimat Ilahi dalam hati dari ruhnya.

Proses demikian, akan menghilangkan keragu-raguan atau pun dualitas dalam spirit kehambaan. Sebab tujuan utama dari penyembahan kepada Allah adalah ketaqwaan. Sedangkan taqwa itu sendiri merupakan sebuah prestasi atau maqam ruhani, dimana rahasia ruh seorang hamba sama sekali tidak terpisah dari Allah, sedangkan jasadnya bergerak menjalankan aturan-aturanNya.

Ketaqwaan itu sendiri berarti manifestasi Tauhid kehambaan. Tauhid dalam arti yang hakiki, adalah perwujudan Syahadatain, yaitu penyaksian kepada KeMahaTunggalan Allah dan hakikat nabi Muhammad itu sendiri.

Martabat dan tingkat yang dapat dicapai oleh orang yang beriman karena menerima petunjuk Tuhan sudah diterangkan, sebab-sebab orang menjadi kafirpun sudah dijelaskan. Manusia yang mempergunakan akalnya dapat mengerti jalan mana yang akan dia tempuh, jalan selamat atau jalan celaka. Maka pandanglah dan renungkanlah itu semuanya, sejak dari buminya sampai kepada langitnya, sampai kepada turunnya air hujan menyuburkan bumi itu. Teratur turunnya hujan menyebabkan suburnya apa yang ditanam. Kebun subur, sawah menjadi, dan hasil tanaman setiap tahun dapatlah diambil buat dimakan. Pikirkan dan renungkan itu semuanya, niscaya hati sanubari akan merasa bahwa tidak ada orang lain yang sekasih, sesayang itu kepadamu. Dan tidak ada pula kekuasaan lain yang sanggup berbuat begitu; menyediakan tempat diam bagimu, menyediakan air dan menumpahkan bahan makanan yang boleh dikatakan tidak membayar. Sehingga jika terlambat hujan turun dari jangka yang terbiasa, tidaklah ada kekuatan lain yang sanggup mencepatkan datangnya. Ayat ini akan diikuti lagi oleh banyak ayat yang lain, yang nadanya menyeru dan membangkitkan perhatian manusia terhadap alam yang berada sekelilingnya. Ayat ini telah menunjukkan kehidupan kita di atas bumi yang subur ini, menyambung keturunan dari nenek-moyang kita. Disebutkan di sini bahwa bumi adalah hamparan, artinya disediakan dan dikembangkan laksana mengembangkan permadani, dengan serba-serbi keseluruhannya. Dan di atas kita terbentanglah langit lazuardi, laksana satu bangunan besar. Di atas langit itu terdapat matahari, bulan dan bintang dan awan gumawan dan angin yang berhembus sejuk. Lalu diterangkan pula bahwa kesuburan bumi adalah karena turunnya hujan dari langit, artinya dari atas. Ayat ini menyuruh kita berpikir dan merenungkan, diikuti dengan merasakan. Bukanlah kemakmuran hidup kita sangat bergantung kepada pertalian langit dengan bumi lantaran hujan? Adanya gunung gunung dan kayu kayuan, menghambat air hujan itu jangan tumpah percuma saja ke laut, tetapi tertahan-tahan dan menimbulkan sungaisungai. Setengahnya terpendam ke bawah bumi menjadi persediaan air.

Pertalian langit dengan bumi, dengan adanya air hujan itu teratur dengan sangat rapinya, sehingga kehidupan kita di atas bumi menjadi terjamin. Ayat ini menyuruh renungkan kepada kita, bahwasanya semuanya itu pasti ada yang menciptakan; itulah Allah. Tidak mungkin ada kekuasaan lain yang dapat membuat aturan setertib dan seteratur itu. Sebab itu maka datanglah ujung ayat mengatakan tidaklah patut kita menyembah kepada Tuhan yang lain.

Dari ayat tadi terdapat enam poin pelajaran yang dapat dipetik:‎


Memperhatikan nikmat-nikmat Allah merupakan cara terbaik untuk ‎mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Oleh sebab itu ayat ini ‎menjelaskan nikmat-nikmat Ilahi kepada manusia setelah ayat sebelumnya ‎memerintahkan supaya kita menyembah Allah.‎
Adanya eko-sistem dan kerjasama antara langit dan bumi merupakan bukti ‎terbaik mengenai adanya Zat Pencipta alam semesta yang Maha Perkasa.‎
Dari dua kalimat “Ja’alla lakum” dan “Rizqan lakum” bisa kita pahami ‎bahwa Allah menciptakan alam ini untuk manusia, dan tujuan terakhir dari ‎diciptakannya makhluk-makhluk lain ialah supaya dimanfaatkan oleh manusia.‎
Keteraturan dan kerjasama antara anggota alam semesta ini merupakan ‎bukti yang paling jelas mengenai adanya perhatian Allah serta ke-Esaan-Nya. ‎Maka kita harus menyembaah Tuhan Yang Esa dan jangan menjadikan ‎sekutu-sekutu bagi Allah dalam soal penciptaan.‎
Mengenal dan menyembah Allah adalah masalah yang sesuai dengan ‎tuntutan fitrah. Naluri semua manusia mengalami hal ini. Karena itu Allah ‎berfirman: وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ : Sedangkan kalian mengetahui.‎ ‎
Air dan tanah adalah perantara, tetapi tumbuhnya tanaman ada di tangan ‎Allah. Karena itu Allah berfirman: “Maka Dia menghasilkan dengan air itu ‎buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian.” ‎ ‎

Di ayat 22 masuk ke dalam Tauhid Rububiyah, yaitu Dia yang menjadikan bumi sebagai hamparan, menjadikan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan hujan, sehingga tumbuhlah tumbuh-tumbuhan untuk rezeki bagi kamu. Oleh sebab itu janganlah disekutukan Allah dengan yang lain; sebagaimana ayat sebelumnya yaitu Tauhid Uluhiyah. Dengan demikian, tauhid juga bisa kita pelajari dari fenomena alam yang ada disekitar kita.

1 komentar:

  1. alhammduliah. web ini sangat bermanfaat dan di jelaskan sedetail mungkin.

    BalasHapus